05 July 2008

BILA DAKWAH MEMASUKI WILAYAH POLITIK

Da’wah para nabi dan utusan Allah bertujuan tegaknya agama (42: 15) di bumi. Sepanjang sejarah manusia agama Allah yang telah ditegakkan oleh para Rasul-Nya melahirkan peradaban-peradaban besar yang tersebar ke seantero dunia. Oleh sebab itu Toynbee memandang bahwa semua peradaban besar yang masih berlaku secara mendasar berorientasi keagamaan dan karena itu secara berangsur-angsur tetapi nyata menyajikan pemecahan-pemecahan keagamaan juga terhadap sejumlah organisasi sosial dan politik.


Sepintas lalu apa yang dikemukakan Toynbee tersebut di atas menyiratkan keniscayaan perjalanan da’wah agama-agama besar yang dilakukan para nabi dan utusan Allah. Keniscayaan itu berupa suatu keharusan memasuki wilayah sosial dan politik. Ini sesuai dengan watak agama-agama samawi sebagai jalan hidup yang membimbing totalitas kehidupan manusia dan mengantarkannya pada pencapaian cita-cita hidupnya, baik cita-cita plitiknya ataupun cita-cita moral keagamannya.

Dengan demikian, da’wah Islamiah berusaha keras agar agama Islam tegak di bumi dan dapat membimbing totalitas kehidupan manusia dalam menuju cita-cita hidupnya. Oleh karena itu ada semacam kecenderungan kuat bahwa gerakan-gerakan da’wah yang berkembang dewasa ini ingin melahirkan arus penegasan kembali identitas dan ideologi Islam serta cita-cita politiknya ke pentas politik. Banyak intelektual muslim yang coba memproyeksikan Islam sebagai sebuah ideologi yang menjadi landasan perjuangan politiknya yang memiliki implikasi amat luas bukan saja pada bidang politik tetapi juga pada bidang-bidang kehidupan lainnya.

Disadari bahwa kehidupan kaum muslimin dewasa ini menuntut pembaruan orientasi di kalangan gerakan da’wah. Pembaruan orientasi itu meliputi arah dan model da’wah yang sesuai dengan tuntutan dan problematika masyarakat kontemporer. Dalam menghadapi tuntutan-tuntutan ini semua gerakan da’wah hendaknya berorientasi pada pembangunan masyarakat Islam seperti halnya dilakukan Rasulullah SAW di Madinah, melakukan perbaikan (ishlah) pada masyarakat Islam yang telah mengalami pembusukan dalam pemikiran dan perilaku, dan memelihara keberlangsungan da’wah itu sendiri di kalangan masyarakat Islam.

Kendati demikian, ternyata kondisi seperti itu tidak memusnahkan semua potensi kekuatan serta peninggalan peradabannya. Aqidahnya tetap utuh dan ajaran-ajarannya tak tergusur meskipun usaha-usaha pembusukan dan langkah memandulkan dan meminggirkan Islam dan kaum muslimin terus berlangsung. Bahkan gerakan-gerakan da’wah yang ingin mengembalikan ‘izzatul Islam walmuslimin terus marak di hampir semua bagian di dunia ini. Gerakan-gerakan itu ingin menegakkan agama Allah di bumi dengan sejumlah agenda perubahan yang dicanangkan. Agenda-agenda itu umumnya bertitik tolak dari pembangunan manusia. Sasaran umumnya ialah agar manusia mampu berprestasi dan memberikan kontribusi dalam amal hadhari (gerakan peradaban).

Masyru’ Hadhari dan Perlunya Sebuah Tatanan

Sepanjang sejarahnya gerakan da’wah yang terus-menerus berkesinambungan itu dilakukan dengan menampilkan manhaj Islami yang terpadu, satu-satunya manhaj yang mampu menghadapi tantangan dan memiliki unsur-unsur pembentuk dan dinamika peradaban yang kokoh. Sebab, masyru’ al-hadharri al-Islami (proyek peradaban Islami) yang dicita-citakan tidak lain adalah proyek kemanusiaan universal yang bertujuan mencapai kebaikan manusia secara umum sebagai refleksi dari implikasi sosiologis Islam sebagai rahmatan li al-‘alamin.

Dengan demikian, da’wah dewasa ini merupakan kebutuhan sosial politik yang sangat mendesak. Sebab, manusia kontemporer, dengan segala kenyataan dan permasalahan yang dihadapinya, sangat membutuhkan orang yang dapat menjelaskan konsep-konsep hidup yang dapat menjamin keselamtan hidupnya di dunia dan di akhirat. Kebutuhan itu semakin mendesak ketika ideologi-ideologi besar dunia sekarang ini sedang mengalami kegoncangan hebat dan ternyata tidak mampu memberikan jawaban terhadap berbagai problematika modern ummat manusia.

Dalam bidang sosial, kondisi manusia sekarang ini diwarnai oleh berbagai kerusakan dan disintegrasi yang dapat melahirkan kehancuran. Sedangkan dalam bidang politik, kehidupan manusia berada dalam tabir kepunahan disebabkan oleh perilaku politik para pemimpin yang fasiq. Ternyata tatanan hidup yang adil, menuntut diwujudkannya sebuah tatanan politik yang berdasarkan kesatuan, keseimbangan, dan keharmonisan. Fondasi utama tatanan yang berdasarkan kesatuan, keseimbangan, dan keharmonisan ialah tauhid, pengesaan Tuhan, Pencipta alam semesta. Tatanan yang berlandaskan tauhid mengandung sejumlah konsep dalam mewujudkan cita-cita sosial-politik manusia, yaitu kesejahteraan hidup lahir dan batin yang telah menjadi cita-cita sosial-politik manusia sepanjang masa.

Menurut Al-Mawardi (Adabu al-Dunya wa al-Dien) tercapainya cita-cita sosial politik manusia sangat tergantung sejauh mana ia mampu mewujudkan dua syarat. Syarat pertama ialah yang berkaitan dengan sistem yang mengatur urusan publik, yaitu wujudnya sebuah tatanan politik yang baik. Syarat kedua ialah yang berkaitan dengan sesuatu yang dapat mewujudkan keshalihan setiap warga, yakni menyangkut masalah nilai-nilai moral yang dapat membentuk individu-indivu shalih.

Perspektif al-Mawardi di atas menunjukkan bahwa persoalan politik (amal siyasi) sama pentingnya dengan persoalan pembinaan pribadi (amal tarbawi) dalam upaya manusia mencapai cita-cita sosial-politiknya, yaitu kesejahteraan hidup lahir dan batin.Tentang urgensi politik ini terlihat pula pada ungkapan hukama, seperti dikutip Al-Mawardi, “Adab (rule) itu ada dua macam: adab syari’ah dan adab siyasah. Adab syari'ah ialah segala aturan yang berkaitan dengan penerapan kewajiban.

Sedangkan adab siyasah ialah aturan-aturan yang berkaitan dengan pemakmuran bumi. Keduanya harus bermuara pada keadilan.'' Selanjutnya menurut Al-Mawardi, ''keselamatan penguasa (sulthan) dan kemakmuran negeri tergantung sejauh mana berjalannya keadilan ini.

Orang yang meninggalkan kewajiban sama artinya dengan mendzalimi diri sendiri, dan orang yang merusak bumi sama artinya dengan menzalimi orang lain.'' Kalau tatanan politik yang tegak di atas prinsip kesatuan, keseimbangan, dan keharmonisan akan melahirkan keadilan maka tatanan politik yang memisahkan diri dari kesatuan, keseimbangan, dan keharmonisan akan melahirkan sejumlah kezaliman yang dapat menghancurleburkan tatanan itu sendiri. Sebab, dalam kondisi kezaliman merajalela tata nilai direduksi secara masif, kemerdekaan diperkosa habis-habisan, harga diri manusia dicampakkan dengan hina, struktur kehidupan ambruk, lingkungan rusak, dan masa depan manusia terus-menerus dibayang-bayangi ketakutan dan ketidakpastian.

Akibat-akibat buruk kezaliman yang telah dilakukan rezim-rezim tiranik selama 32 tahun lebih telah membuktikan bahwa kezaliman politik cukup menghancurkan segalanya. Kini, bangsa Indonesia terus-menerus dibayang-bayangi ketakutan dan ketidakpastian. Keambrukan sendi-sendi ekonomi kita semakin menambah deretan panjang daftar kemiskinan.

Kehidupan sosial kita yang tengah dilanda disintegrasi sosial dapat mengancam keutuhan bangsa. Kerusuhan yang terjadi di mana-mana semakin menambah kesengsaraan. Pepeprangan antaretnis dan agama telah memastikan bangsa Indoensia sedang berada dalam ambang kehancuran. Sedangkan kemunafiqan yang menjadi-jadi dan nyaris telah menjadi budaya umum telah membiakkan manusia-manusia hipokrit dan menyebar kecurangan di segala bidang kehidupan. Lorong-lorong ketegangan dan disparitas sosial-ekonomi semakin melebar nyaris tak bertepi. Secara praktis kita hidup dalam reruntuhan puing-puing arogansi para pemimpin congkak dan sombong.

Akibatnya terjadi saling kutuk mengutuk antara pemimpin dan rakyatnya. Rasulullah SAW mengingatkan:

“Sebaik-baik pemimpin kamu –yakni pemegang kendali pemerintahan kami—ialah orang yang kamu cintai dan mereka mencintai kamu, mendoakan kebaikanmu dan kamu mendoakan kebaikan untuk mereka. Sedangkan seburuk-buruk pemimpin kamu ialah yang kamu benci dan mereka membenci kamu, yang kamu kutuk dan mereka mengutuk kamu.” (HR, Muslim)

Pemimpin-pemimpin yang selama hampir setengah abad menjadikan ucapan-ucapannya bernilai hukum dan petunjuk bagi seluruh rakyat serta tidak boleh dibantah itu telah memusnahkan semua harapan rakyat dalam mencapai cita-cita hidupnya.

Rasulullah SAW memberikan sebuah ilustrasi terhadap model kepemimpinan tiranik dalam sabdanya : “Nanti akan ada pemimpin-pemimpin sesudahku yang kata-katanya tidak boleh dibantah oleh siapapun. Mereka akan berdesak-desakan masuk neraka seperti monyet-monyet yang berdesak-desakan.” (HR, Abu Ya’la)

Seluruh agama samawi sangat keras dalam menolak ketidakadilan (kezaliman) dan kecurangan. Dalam agama Islam setiap muslim tidak hanya meminta berusaha menghapus berbagai bentuk kezaliman dari masyarakat mereka, namun juga menyuruh menolong siapa saja yang karena kelemahannya tidak dapat mempertahankan diri melawan kezaliman dan penindasan. Sebab, kezaliman dan ketidakadilan identik dengan kerusakan. Maka ia menjadi sumber kehancuran dan bencana bagi kemanusiaan. Kezaliman itu menjauhkan manusia dari hak-hak sahnya, menghinakan kemanusiaan, menganiaya diri sendiri, melahirkan kebangkrutan, dan menciptakan sebuah kondisi di mana manusia saling memangsa sesamanya.

Memasuki Wilayah Politik

Ketika kehidupan dicengkeram rezim tiranik hingga seluruh kekuasaan berpusat di tangan seseorang atau sekelompok manusia, para pembawa risalah samawi praktis harus memasuki wilayah politik, suatu wilayah strategis bagi gerakan da’wah. Hal itu merupakan sunnatudda’wah (aksiomatika da’wah) yang berlaku sepanjang sejarahnya. Diakui, memasuki wilayah politik selain strategis juga merupakan wilayah berat yang bisa jadi menimbulkan ketegangan-ketegangan ideologis. Lebih-lebih bila kondisi politik berada dalam dominasi penguasa tiran yang kata-katanya menjadi petunjuk dan tidak boleh dibantah siapapun seperti diisyaratkan Rasulullah SAW tersebut di atas.

Dalam sejarah da’wah ketegangan-ketegangan itu terjadi antara ideologi penguasa (dinul malik) dan risalah para nabi. Selain itu wialayah politik juga dapat menimbulkan benturan-benturan sosial-politik yang sangat keras antara para pendukung ideologi penguasa dan para penyeru dan pembela agama para nabi.

Mengingat wilayah politik merupakan wilayah da’wah yang berresiko tinggi dan bisa melahirkan kekerasan, maka Rasulullah SAW mensejajarkan nilai da’wah dalam wilayah politik dengan nilai syahadah dalam satu peperangan di jalan Allah. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya di antara jihad paling besar adalah kata-kata yang adil (benar) di hadapan penguasa yang zalim.” “Penghulu para syuhada adalah Hamzah dan orang yang mengatakan hak di hadapan pemimpin zalim.” Bahkan banyak ulama yang menekankan bahwa rahasia keistemewaan ummat Islam terletak pada konsistensinya dalam menjalankan amar ma’ruf nahi munkar.

Tentang pentingnya gerakan amar ma’ruf nahi munkar telah diingatkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya bahwa meninggalkan kewajiban ini dapat melahirkan sejumlah keburukan.

Firman Allah: “Mereka satu sama lain tidak saling melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat.” (QS, al-Ma`idah: 79)

Rasulullah SAW bersabda: “Apabila ummatku sudah takut mengatakan kepada orang yang zhalim: “Wahai orang yang zhalim,” maka diucapkan selamat tinggal kepada mereka.” (HR, Ahmad)

“Sesungguhnya manusia apabila melihat orang berbuat zhalim, lantas tidak mencegah tindakannya, maka Allah akan menimpakan siksaan kepada mereka secara merata dari sisi-Nya.” (HR, Abu Dawud).

Dalam Islam apa yang disebut amal siyasi (aktivitas politik) merupakan bagian integral dari amal Islami. Sedangkan aktivitas politik yang dilakukan seorang Muslim hendaknya selalu melekat (inheren) dengan aktivitas keislamannya. Kenyataan ini semakin memperjelas pentingya amal siyasi bagi setiap Muslim dan setiap pergerakan Islam.

Sehubungan dengan ini seorang pendiri organisasi Islam Ikhwanul Muslimin di Mesir, Hasan al-Banna, menegaskan, Ikhwan tidak pernah melewatkan satu hari pun dari aktivitas politik.“Kita adalah para politikus, dengan pengertian bahwa kita memperjuangkan urusan bangsa kita.” Pada bagian lain beliau menyatakan: “Seorang Muslim tidak akan sempurna keislamannya kecuali bila ia menjadi seorang politikus yang memiliki wawasan luas dalam memikirkan urusan ummatnya, menaruh perhatian besar kepada kepentingan mereka dan mempunyai rasa kepekaan terhadap kehormatan mereka.”

Kendati demikian, Hasan al-Banna mengingatkan, Ikhwan harus tetap konsern pada kesatuan dan dinamika ummat. Karena itu ia harus tetap menempatkan posisinya sebagai ruh baru yang mengalir di tubuh ummat.

Sesudah Soeharto lengser keprabon, bangsa Indonesia memasuki era baru yang disebut “era reformasi”. Dalam era ini ada keinginan kuat dari kalangan rakyat untuk memberdayakan hak politiknya yang selama 32 tahun lebih terpasung dan terpinggirkan. Keinginan ini begitu kuatnya sehingga muncul gagasan untuk mendirikan partai-partai politik. Kenyataannya sudah lebih dari sepuluh partai Islam berdiri. Berarti da’wah di “era reformasi” sekarang ini secara praktis sedang memasuki wilayah politik dengan aneka ragam watak dan problematikanya.

Kesiapan Psiklogis

Kalangan pergerakan da’wah dapat mengambil i’tibar (pelajaran) dari perjalanan da’wah Nabi Musa As tentang pentingnya kesiapan psikologis para aktivis ketika da’wah memasuki wilayah politik.

Nabi Musa As memperoleh perintah dari Allah SWT untuk memasuki wilayah politik dalam da’wahnya melalui firman-Nya: “Pergilah (Musa) kepada Fir’aun, sesungguhnya ia sangat tiranik” (20: 24),

Namun dalam merespons perintah itu Musa meminta kepada Tuhan supaya dikarunia jiwa besar, jiwa yang lapang. ” Berkata Musa, “Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku.” (20: 25).

Agaknya permintaan Musa tersebut cukup menarik untuk dicermati. Ketika ia harus memasuki wilayah politik dalam da’wahnya Musa tidak langsung meminta dukungan dana atau pasukan.

Di sini, tampak jelas kesadaran dan pengetahuan Musa tentang liku-liku politiik. Musa menyadari sepenuhnya perlunya jiwa besar dalam memasuki arena politik. Ia juga sadar bahwa kesiapan psikologis dalam mengemban tugas barunya, yaitu menghadapi rezum Fir’aun yang sangat tiranik itu, sangat menentukan langkah-langkah operasional misinya.

Oleh sebab itu, yang diminta Musa bukanlah dukungan dana, senjata, atau personil. Yang diminta Musa adalah kesiapan psikolgis bagi dirinya dalam menghadapi tugas da’wah yang secara ril telah memasuki wilayah sangat penting dan strategis bagi perjalanan da’wahnya.

Kendati demikian, Musa tetap menyadari bahwa tugas barunya itu sangat berat dan memerlukan banyak dukungan. Sebab yang akan dihadapinya adalah sebuah rezim totaliter Fir’aun yang terkenal kejam dan sewenang-wenang.

Pertanyaannya, mengapa dalam menghadapi tugas berat itu Musa meminta kepada Allah supaya dilapangkan dadanya ? Kenyataan, kesiapan psikologis mutlak diperlukan oleh sebuah gerakan da’wah terutama ketika memasuki wilayah politik. Sebab, seperti sering dicitrakan orang, dunia politik adalah dunia yang penuh ketegangan, intrik, dan kekerasan, dunia konflik yang hingar bingar dan penuh tantangan.

No comments: